My Story project : Gadis Pengumpul Awan

02.04


Guyuran hujan membasahi seluruh permukaan jalan raya sore hari itu. Aku yang sudah basah kuyup terkena air hujan memutuskan tidak akan pulang dalam keadaan seperti ini, bisa-bisa aku diomeli ibu karena tidak menuruti nasehatnya untuk membawa payung. jadi kuputuskan untuk menunggu hujan reda sambil mengeringkan pakaianku di halte, meskipun kurasa tak kan mungkin merubah banyak.
Di halte sangat sepi, hanya ada seorang gadis kecil kira-kira berumur 9 tahun asik menggambar dalam kertas karton berukuran kecil.
Toples berisi penuh dengan kertas terletak di samping kanannya. Tanpa kata, aku duduk disebelah gadis itu, mengibat-ibatkan seragam pramukaku sambil mendesah kedinginan. Sial, kenapa aku tak menuruti ibu, kenapa aku harus menolak ajakan arya untuk mengantarkanku pulang. Tapi semua tak perlu disesali, sisi baiknya,, aku bisa mengamati air hujan dari sini. Meskipun sebenarnya kurasa itu bukan sisi baik.
Kalau saja gadis itu tak mengeraskan suarannya, Aku pasti masih tenggelam dalam fikiranku sendiri hingga tak menyadari sedari tadi gadis cilik itu menyodok-nyodok tanganku dengan pensil warnannya dan terus memanggilku. “kak.. kak..”. aku tak menjawab sapaannya tapi tetap kupaksakan seulas senyum kecil keluar dari bibirku. “aku ingin kakak menjawab pertanyaanku”. Katannya. baru bertemu sudah mau  mengajukan pertanyaan padaku. Anak ini hanya membuat moodku semakin buruk. Tapi aku tak punya pilihan lain selain menjawab “apa?”. lawan urusan ini adalah anak kecil, aku tak ingin membuat masalah dengan membuatnya menangis terisak-isak di tengah hujan deras.
“kakak suka awan yang mana, yang ini atau yang ini?” katannya sambil menyodorkan 2 lembar kertas padaku. Oh, jadi yang dari tadi digambarnya itu awan. aku mengamati kedua gambar itu dan memperhatikan bentuknya. Gambar pertama berbentuk seperti awan biasa, sedang gambar yang kedua berbentuk seperti… bentuk apa ini? gambar yang Ini tak berbentuk. Garis-garisnya melengkung samar dan tak bisa kufahami mengapa dia menyebut bentuk ini sebagai bentuk awan. “aku suka yang ini” kataku sambil menunjuk gambar yang pertama. Kusodorkan dua lembar kertas itu lagi padannya.
 “kalau aku lebih suka yang ini”  katannya sambil menunjuk gambar kedua. Aku memandangnya heran “kalau gambar awan pertama hanya memiliki satu bentuk, sedangkan gambar awan kedua memiliki banyak bentuk yang bisa dilihat dari segi manapun” . katannya. Aku hanya diam, bukan diam karena pasrah tapi karena aku tak mengerti dengan ucapan anak ini .Jelas-jelas gambar kedua tidak berbentuk awan, menurutku.
Melihat wajahku yang kebingungan, gadis itu berkata lagi “bentuk awan di langit tidaklah sesederhana gambar awan ini” dia menunjuk gambar yang pertama, “terkadang ada awan yang berbentuk seperti ini”, katannya dengan menunjuk gambar kedua, “tapi begitu diamati, awan yang ini memiliki bentuk yang bermacam-macam . coba kakak lihat ini, perhatikan baik-baik” dia memegangi kertas itu didepan mataku “kakak lihat? Ini bentuk orang membaca buku,”. Aku memperhatikan gambar itu lagi dengan seksama. Benar katannya, setelah kufikir-fikir bentuk awan itu sedikit mirip dengan bentuk orang yang membaca buku. “tidak hanya itu, jika dibalik 90 derajat akan berbentuk seperti kelinci, jika dibalik lagi 90 derajat akan berbentuk seperti pohon kurma, dan jika dimiringkan 45 derajat bentuknya seperti bunga sepatu”.  Ucapnya panjang lebar. Aku melongo heran. Aku memperhatikan lagi gambar itu pelan-pelan dan menyadari yang ia katakan benar. Aku tak berfikir dari segi pandang itu. Aku mengaku kalah. “ya, setelah difikir-fikir memang begitu” jawabku malu.
Mendengar jawabanku, dia tersenyum puas. “Kakak harus belajar memandang dari berbagai sudut pandang. seperti hujan ini atau apapun itu, kakak pasti bisa menemukan sisi baiknya, kakak bisa belajar dari bentuk awan yang kugambar ini”. “kau benar” kataku sambil tersenyum. Anak ini sungguh menarik.
Bunyi derit menggetarkan saku celanaku, aku tahu pertanda apa ini, ibuku menelfon dan jika ibu menelfon aku harus segera pulang. Entah kenapa rasannya aneh ketika aku mulai berdiri dan berpamitan pulang padannya, Rasannya berat. Sebelum aku melangkahkan kaki berjalan menjauhi halte aku menoleh kebelakang. “siapa namamu?”tanyaku. “ryn”jawabnya. Aku kembali berjalan sampai akhirnya ia berteriak dengan suara lantang “siapa nama kakak?” aku menoleh dan tersenyum “aku disti, panggil aku kak disti. Sampai ketemu nanti Ryn”
                                                      ******
Sejak kejadian kemarin, aku terus menerus menebak apa lagi yang akan ia tunjukkan padaku. Bahkan aku sampai sengaja tak membawa payung, untuk memperkuat alasanku menemuinnya. Sebenarnya aku tak yakin apakah aku bisa menemuinnya hari ini.  Apakah dia tetap berada disana hari ini. Aku tak tau. Satu-satunnya cara untuk mengetahuinnya adalah pergi ke halte bis, dan langkah kakiku semakin kupercepat karenannya.
Aku lega ketika melihat lurus ke halte dan melihat gadis itu duduk disana, masih bergumul dengan gambar-gambar awannya. Aku duduk disampingnya. Sejenak semuannya hening sampai  ia memulai pembicaraan dengan berkata “Apa impian kakak?”.  tiga kata itu membuatku terlonjak. “iya, mimpi, impian, cita-cita!!” katannya lagi sambil memandang ke arahku, aku tersentak, multku bergetar “emmm.. aku tak tau. Mungkin dokter, guru, arsitek, aku tak yakin” jawabku ragu. Ryn memandanngku lekat-lekat “kenapa bisa tak yakin, Bukannya itu hal paling mendasar?”tanyanya heran. ya, hal itu memang paling mendasar tapi rumit bagiku. “entahlah Ryn, tapi aku memang tidak yakin”. Kataku lirih.
Entah sejak kapan, ketika ditanyai seseorang tentang impianku, aku slalu tak bisa menjawabnya. Apa impianku sebenarnya, aku tak pernah yakin. Aku slalu mencari-cari impian itu, tapi karena tak berhasil menemukannya, Aku menyerah. Dan tentang bagaimana jadinnya aku nanti kuserahkan pada waktu. Jawabannya terletak pada waktu. Bagaimana waktu akan membawaku, aku pasrah. Itulah mimpiku sekarang. Tapi aku tak berani menjelaskannya pada Ryn. Dia masih anak-anak, dan sangat mudah dipengaruhi. Dia tak boleh sama denganku, dia harus tetap bermimpi.
“kalau begitu coba kakak ingat apa yang benar-benar kakak inginkan, sesuatu yang benar-benar kakak inginkan hingga kakak mampu mengorbankan segala untuknya, sesuatu yang benar-benar membuat kakak bahagia” aku menelan ludah. Sesuatu yang benar-benar ku inginkan? Sesuatu yang membuatku bahagia?.  Ya, aku tau jawabannya dengan pasti. Tapi aku ragu. Mimpi itu sudah lama kupendam, sejak orang lain mengejek impianku. sejak aku berubah lebih dewasa dan menyadari bahwa mimpi itu tidak akan menjamin kehidupan ayah dan ibuku, sejak banyak orang menyuruhku untuk berfikir secara rasional, bahwa tak ada tempat untuk impianku, bahwa meskipun impian itu kuraih, aku takkan dibutuhkan. Dadaku sesak saat mengingat itu semua.
 “sebenarnya.. dulu.. itu dulu sekali.. aku pernah bermimpi…”. aku menelan ludah lagi, lidahku terasa kaku untuk mengungkapkannya, sebab seperti ada sinyal dari otakku untuk tak mengucapkan kata itu. Tapi melihat mata besar Ryn yang penasaran, tiba-tiba lidahku bergerak sendiri “… menjadi penulis manga (kartun jepang dalam bentuk komik),”. Aku menarik nafas pelan. Tanpa sadar ternyata saat aku mengucapkannya, aku menahan nafas. “Bukankah itu tidak rasional? Menjadi seorang penulis manga  tidak akan menjamin kehidupanku nanti, ya kalau sukses, bagaimana kalau gagal.  Impian itu tidak menjamin, Makannya aku memendam impian itu dan mencari impian yang lain, impian yang bisa menjamin kehidupanku nanti”. Jelasku panjang lebar. Ryn mendesah pelan begitu mendengar penjelasanku, dan kemudian ia tersennyum “aku memang tidak tau apa-apa kak, aku juga tak punya banyak pengalaman sebanyak kakak, tapi bisakah kakak mendengarkan pendapat anak kecil ini dan mempertimbangkannya?” tanyanya. Aku mengangguk dan tersenyum janggal.
 “bukannya impian itu memang tidak rasional kak? kalau mimpi itu rasional kakak tak perlu bermimpi, kakak hanya perlu berfikir. Sedangkan bermimpi dan berfikir adalah dua hal yang berbeda.  Ya, kalau difikirkan secara rasional, mimpi kakak itu tak menjamin kehidupan kakak. Tapi kalau kakak hanya memandang dari segi rasional, kakak sangat rugi. Dunia ini terlalu luas untuk hal sesempit rasionalitas kak. Selama kakak punya impian itu, kakak tak perlu memikirkan yang lain, apakah kakak bisa sukses dengan mimpi itu, apakah mimpi itu menjamin, kakak tidak perlu memikirkan yang lain. Sebab itulah mimpi. selama di dunia ini tidak ada hukum yang melarang kakak untuk bermimpi, bermimpilah sepuasnya kak. Dan gapai dunia ini”. aku hanya tersenyum mendengar kata-katannya. Semua yang ia katakan benar, aku merasa heran kenapa aku mendengarkan orang lain dan membuang mimpiku yang sangat berharga itu. Tak peduli apa kata orang lain, itulah impianku. Dan entah kenapa sejak itu, mimpi yang kupendam selama bertahun-tahun itu muncul lagi dalam hatiku, semua berkat anak ini.
                                                            ***********
“kalau begitu apa impianmu?” Hari berikutnya ketika aku bertemu dengan Ryn, giliranku bertannya padannya,  aku penasaran sebenarnya apa impiannya. “aku? Aku ingin menjadi pembaca awan professional.” Jawabnya sambil tersenyum cerah. “pembaca awan?” tanyaku heran. Jujur saja aku tak pernah mendengar ada impian seperti ini. “Kakak lihat tidak bentuk-bentuk awan itu” katannya sambil menunjuk keatas langit, “bentuk kucing, anjing, buku, bayi, rumah, semuannya,” ucapnya sambil menyebutkan bentuk awan itu satu persatu. “aku yakin tuhan menciptakan bentuk-bentuk itu karena ada maksud tersendiri dibaliknnya, Dan akulah yang akan membacannya”. Lanjutnya dengan wajah  berbinar-binar, ia amat senang menceritakan tentang impiannya. Berbeda dengan keadaanku ketika dia bertannya padaku tentang impian kemarin. “itukah sebabnya kau mengumpulkan bentuk-bentuk awan dan menaruhnya ke dalam toples itu?” “iya.., aku menggambarnnya, mengumpulkannya lalu kurangkai satu persatu untuk kubaca. Banyak yang bisa kupelajari darinnya” katannya sambil membalik-balik gambar awannya.
 “tapi kenapa kau harus menggambarnya disini, aku yakin kau juga bisa menggambarnya dirumahmu”tanyaku penasaran. Ryn menoleh padaku dan tersenyum “entahlah, aku hanya bisa membacannya disini,”. Sebelum aku bertanya lagi, ryn meneruskan kalimatnya “karena ditempat ini tak ada orang yang menyuruhku untuk menyerah pada impianku, tak ada yang menyalahkan  impianku.” Ryn mendongak ke langit lalu menarik nafas panjang. “Tapi sepertinnya aku memang tak bisa terus menggambar disini”.
                                                      ********
Entah kenapa sejak hari itu, aku tidak pernah menemui Ryn lagi di halte bis. Dan begitulah hari berikutnya. Dan hari berikutnya. Dan hari berikutnya lagi. Apa benar dia tidak menggambar di sini lagi. Tapi kenapa? aku merasakan kerinduan pada gadis cilik itu. Aku rindu pada nasehat-nasehat bijaknya. Aku rindu pada senyum ceriannya.
Hari itu hari sabtu dan aku masih belum putus asa untuk menemui Ryn. Barangkali dia ada disana, bermain dengan gambar awan-awannya lagi. Namun yang kutemui di halte bukanlah Ryn tapi seorang wanita tua yang membawa toples yang kukenali sebagai toples Ryn. Aku mendekatinnya. Menyadari ada orang yang mendekatinnya ibu itu mendongak keatas. “kau pasti nak disti kan? Aku ibunya Ryn” ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk heran. Aku tidak mengerti semua ini, kenapa ibu Ryn kemari, kenapa beliau membawa toples Ryn? “duduklah dan akan kujelaskan.” Aku menuruti permintaan ibu Ryn dan duduk di sampingnya. Awalnya hanya hening sampai akhirnya beliau menarik nafas panjang dan mendesah keras
“sejak dulu, aku selalu memarahi Ryn karena hanya bermain-main dengan gambar awannya, aku selalu bilang bahwa impiannya itu tidak masuk akal, mana ada impian seperti itu. Itulah sebabnya dia menghindari rumah dan slalu berada di halte ini, aku bahkan baru mengetahuinnya akhir-akhir ini. tapi hingga akhir dia masih tetap tidak menyerah pada impiannya” Aku masih melongo kebingungan.tak mengerti. “dia sering sekali bercerita tentangmu, katannya dia sering bertemu dneganmu disini, aku tak ingin kau mengkhawatirkan keadaan Ryn, jadi kuputuskan untuk lebih baik memberitahumu”.
Kali ini ibu Ryn mendesah lebih keras dan menarik nafas panjang lagi “sang pencipta awan yang ia kagumi memanggilnya, barang kali pencipta awan ingin membuat Ryn lebih bersenang-senang di atas, bersama awan-awan ciptaannya” aku tersentak, sepertinnya aku mengerti jalan pembicaraan ini. Kupandang wajah ibu Ryn pelan-pelan “ya.. benar nak. Ryn… meninggal”. ibu Ryn terisak keras. Aku merangkulnya hangat. Tanpa sadar air mataku juga menetes. Ryn telah pergi dan sampai akhir hayatnya dia tidak melepaskan impiannya
 Sejak saat itu aku menanamkan tekad kuat dalam hatiku, bahwa aku tidak akan menyerah pada mimpiku lagi. Akan kutunjukkan pada Ryn yang sekarang sudah bersenang-senang di surga. Tidak hanya ryn, aku juga akan menunjukkan pada dunia bahwa inilah impianku.
Terima kasih Ryn. Terima kasih sang pengumpul awan..

(Cerpen ini saya persembahkan untuk orang-orang yang hampir menyerah pada impiannya…
 kita tidak perlu berfikir untuk bermimpi dan untuk bermimpi, kita tidak perlu berfikir J)




You Might Also Like

0 comments